Hilirisasi Produk Ekspor Sebagai Pengungkit Devisa Negara dan Penguatan Nilai Rupiah Dalam Perspektif Ekonomi Islam
- Oleh: Idris Parakkasi
- Konsultan Ekonomi dan keuangan Islam
Ekbis Syariah. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alam, memiliki potensi ekonomi yang luar biasa. Selama bertahun-tahun, ekonomi kita sangat bergantung pada ekspor bahan mentah, seperti nikel, bauksit, dan batu bara. Meskipun strategi ini telah memberikan pemasukan, ia juga membuat perekonomian nasional rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Ketidakstabilan ini sering kali berdampak langsung pada nilai tukar rupiah, menyebabkan ketidakpastian ekonomi yang merugikan masyarakat. Menyadari hal ini, pemerintah Indonesia kini mengambil langkah strategis yang lebih mendasar yaitu hilirisasi industri.
Hilirisasi adalah kebijakan ekonomi yang menggeser fokus dari sekadar mengekspor bahan mentah ke pengolahan komoditas tersebut menjadi produk jadi atau setengah jadi yang memiliki nilai tambah lebih tinggi di dalam negeri. Tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga untuk menciptakan lapangan kerja, menarik investasi, dan pada akhirnya, memperkuat kemandirian ekonomi. Dalam konteks yang lebih luas, kebijakan ini diharapkan dapat menjadi motor penggerak utama dalam meningkatkan devisa negara dan penguatan nilai mata uang rupiah.
Bagaimana hilirisasi produk ekspor dapat menjadi solusi efektif untuk tantangan ekonomi Indonesia dalam perspektif Ekonomi Islam? Sistem Ekonomi Islam tidak hanya mengejar pertumbuhan material, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kemaslahatan, dan keberlanjutan. Melalui lensa Islam, kita akan menelaah urgensi hilirisasi, melihatnya sebagai upaya untuk mengoptimalkan karunia Allah SWT, serta mengkaji dalil-dalil syariah dan data-data ekonomi yang relevan untuk mendukung argumen bahwa hilirisasi adalah jalan yang tepat menuju kemakmuran yang adil dan merata. Kita akan melihat bagaimana prinsip-prinsip Islam memberikan fondasi moral dan etika yang kuat bagi kebijakan ini, menjadikannya lebih dari sekadar strategi ekonomi, tetapi juga sebuah ikhtiar yang sejalan dengan ajaran agama.
Ekonomi Islam tidak hanya berorientasi pada keuntungan material semata, tetapi juga pada kemaslahatan (kebaikan) pada umat dan bangsa. Hilirisasi produk ekspor, dalam bingkai ini, memiliki urgensi yang sangat kuat antara lain; Pertama, Peningkatan nilai tambah dan kesejahteraan. Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja secara produktif dan mencari rezeki yang halal. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Qasas ayat 77: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia…” Hilirisasi, dengan mengubah bahan mentah menjadi produk bernilai tinggi, secara langsung meningkatkan nilai tambah dari sumber daya alam yang dianugerahkan Allah SWT. Hal ini akan meningkatkan pendapatan, menciptakan lapangan kerja, dan pada gilirannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Contohnya, hilirisasi nikel menjadi baterai kendaraan listrik tidak hanya meningkatkan harga jual nikel secara signifikan, tetapi juga menciptakan ribuan lapangan kerja baru dari hulu ke hilir. Begitupula berbagai komoditas lainnya yang sangat melimpah. Kedua,Kemandirian Ekonomi (Istiqlal al-Iqtisadi). Ketergantungan pada ekspor bahan mentah membuat suatu negara rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Ini bertentangan dengan prinsip kemandirian ekonomi dalam Islam. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabat, kemandirian ekonomi sangat penting untuk menjaga kedaulatan dan martabat umat dan bangsa. Hilirisasi memungkinkan Indonesia untuk mengendalikan rantai pasok global dan mengurangi ketergantungan pada pasar luar. Dengan demikian, ekonomi nasional menjadi lebih tangguh dan berdaulat. Ketiga, Keadilan dan pemerataan. Ekspor bahan mentah seringkali hanya menguntungkan segelintir pengusaha besar, sementara hilirisasi membuka peluang bagi sektor industri kecil dan menengah (IKM) untuk terlibat dalam rantai produksi. Ini sejalan dengan prinsip keadilan dalam Islam yang menentang konsentrasi kekayaan pada sekelompok orang. Dalam Surah Al-Hasyr ayat 7, Allah berfirman: “…supaya harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…” Hilirisasi, dengan menciptakan banyak lapangan kerja di berbagai tingkatan, dapat membantu mewujudkan pemerataan ekonomi yang lebih adil.
Bagaimana Dampak hilirisasi terhadap nilai devisa dan nilai rupiah? Dari perspektif Ekonomi Islam, peningkatan devisa dan penguatan mata uang adalah bagian dari upaya untuk menjaga stabilitas ekonomi umat dan bangsa. Dalil-dalil syariah dan data-data ekonomi menunjukkan bahwa hilirisasi produk ekspor memiliki dampak positif yang signifikan antara lain: Pertama, Peningkatan devisa (Irad al-Daulah). Devisa merupakan cadangan kekayaan negara yang penting untuk membiayai impor dan menjaga stabilitas makroekonomi. Hilirisasi secara langsung meningkatkan devisa melalui dua cara:
- Meningkatnya nilai ekspor. Ekspor produk jadi memiliki harga jual yang jauh lebih tinggi dibandingkan bahan mentah. Sebagai contoh,
- Nikel: Sebelum larangan ekspor bijih nikel 2020, Indonesia hanya mendapat sekitar USD 3-5 miliar/tahun dari ekspor bijih nikel. Setelah hilirisasi (diolah menjadi stainless steel dan baterai kendaraan listrik), nilai ekspor melonjak menjadi USD 30 miliar pada 2023 (Kementerian ESDM, 2024).
- CPO: Ekspor minyak sawit mentah hanya bernilai USD 400/ton, tetapi jika diolah menjadi biodiesel, oleochemical, atau kosmetik, nilainya bisa mencapai USD 1.200 2.000/ton (GAPKI, 2023).
- Mengurangi impor. Hilirisasi juga memungkinkan Indonesia untuk memproduksi barang-barang yang sebelumnya harus diimpor. Misalnya, hilirisasi bauksit menjadi aluminium akan mengurangi ketergantungan pada impor aluminium. Ini menghemat devisa yang sebelumnya digunakan untuk impor, sehingga cadangan devisa negara menjadi lebih kuat.
Kedua, Penguatan nilai mata uang rupiah (Qimah al-’Umlah). Dalam ekonomi Islam, mata uang yang stabil adalah salah satu prasyarat untuk transaksi yang adil dan efisien. Fluktuasi mata uang yang ekstrem dapat merugikan masyarakat, terutama mereka yang berpendapatan rendah. Penguatan rupiah melalui hilirisasi terjadi melalui beberapa mekanisme antara lain:
- Peningkatan arus masuk devisa. Peningkatan ekspor produk bernilai tinggi berarti semakin banyak devisa yang masuk ke dalam negeri. Ketika pasokan mata uang asing (dolar AS) di pasar domestik meningkat, sementara permintaan relatif stabil, maka nilai Rupiah cenderung menguat terhadap dolar.
- Menarik investasi asing langsung (foreign direct investment). Hilirisasi menciptakan ekosistem industri yang menarik bagi investor asing. Mereka berinvestasi di Indonesia untuk membangun pabrik pengolahan, yang berarti adanya aliran masuk modal asing yang besar. Masuknya modal asing ini juga menambah pasokan dolar di pasar, yang berdampak positif pada penguatan rupiah.
- Meningkatkan kepercayaan investor dan pasar. Kebijakan hilirisasi yang konsisten dan berhasil menciptakan citra bahwa ekonomi Indonesia memiliki fundamental yang kuat dan prospek jangka panjang yang cerah. Kepercayaan ini mendorong investor untuk berinvestasi di Indonesia, baik di pasar modal maupun sektor riil, yang pada akhirnya akan memperkuat posisi rupiah.
Bagaimana tantangan dan solusi hilirisasi dalam perspektif ekonomi Islam? Meskipun hilirisasi memberikan banyak manfaat, pelaksanaannya juga menghadapi tantangan yang perlu disikapi dengan bijak sesuai dengan nilai-nilai Islam antara lain. Pertama, Tantangan modal dan teknologi. Hilirisasi membutuhkan investasi besar dan transfer teknologi. Solusinya, pemerintah dapat mendorong skema pembiayaan syariah seperti sukuk (obligasi syariah) untuk mendanai proyek-proyek hilirisasi. Sukuk yang didasarkan pada aset riil, lebih stabil dan adil dibandingkan utang konvensional. Selain itu, pemerintah perlu aktif memfasilitasi kerjasama dengan negara-negara maju untuk alih teknologi, yang merupakan salah satu bentuk tolong-menolong dalam kebaikan (ta’awun ‘ala al-birri) yang dianjurkan dalam Islam. Kedua, Tantangan sumber daya manusia (SDM). Hilirisasi membutuhkan tenaga kerja terampil. Dalam Islam, pendidikan dan pengembangan SDM adalah kewajiban. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Pemerintah harus menginvestasikan sumber daya yang memadai untuk pelatihan vokasi dan pendidikan tinggi yang berfokus pada industri hilir, sehingga tenaga kerja lokal dapat mengambil peran kunci dalam industri baru ini. Ketiga, Tantangan keadilan lingkungan (al-Adl al-Bi
i). Pembangunan industri seringkali menimbulkan dampak lingkungan. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi yang bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-A’raf ayat 56: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…” Oleh karena itu, hilirisasi harus dilakukan dengan memperhatikan standar lingkungan yang ketat. Teknologi ramah lingkungan harus menjadi prioritas, dan pemerintah harus memastikan bahwa perusahaan-perusahaan industri mematuhi peraturan lingkungan dan tidak merugikan masyarakat sekitar.
Dari perspektif ekonomi Islam, hilirisasi produk ekspor bukan hanya sekadar strategi ekonomi, melainkan sebuah ikhtiar yang sejalan dengan nilai-nilai syariah. Hilirisasi meningkatkan nilai tambah, menciptakan lapangan kerja, dan mewujudkan kemandirian ekonomi, yang semuanya berkontribusi pada kemaslahatan umat. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus terus melanjutkan dan memperkuat kebijakan hilirisasi produk ekspor. Ini adalah jalan yang benar untuk membangun ekonomi yang kuat, adil, dan berkelanjutan, yang tidak hanya menguntungkan secara material, tetapi juga sejalan dengan tuntunan agama. Hilirisasi adalah sebuah perwujudan dari amanah Allah SWT untuk mengelola sumber daya alam secara bijaksana demi kemaslahatan seluruh umat manusia. Wallahu a’lam.