Ekonomi Islam

Dampak Sistem Bunga Terhadap Pertumbuhan dan Distribusi Ekonomi Dalam  Perspektif Ekonomi Islam

  • Oleh: Idris Parakkasi
  • Konsultan Ekonomi dan Keuangan Islam

Ekbis Syariah. Dalam landscape ekonomi global, suku bunga telah lama menjadi instrumen utama kebijakan moneter dan jantung dari sistem keuangan konvensional. Namun, dalam perspektif ekonomi Islam, instrumen ini tidak hanya dipandang sebagai variabel teknis ekonomi, tetapi sebagai sebuah sistem (riba) yang memiliki implikasi mendalam terhadap pertumbuhan ekonomi, stabilitas finansial, dan yang paling krusial terkait keadilan distribusi kekayaan.

Landasan utama pandangan Islam tentang bunga tertuang dalam larangan riba yang bersifat mutlak. Dalam  Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2): 275: “…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”. Begitupula dalam surah Ali ‘Imran (3): 130: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda…”

Dalam tafsir ekonomi modern, riba mencakup segala bentuk penambahan nilai (premium) atas pokok pinjaman yang disyaratkan di muka, yang dalam praktiknya adalah bunga (interest). Larangan ini bukan tanpa alasan, melainkan didasari oleh hikmah untuk mencegah ketidakadilan, eksploitasi, dan konsentrasi kekayaan.

Secara teori konvensional, suku bunga dianggap sebagai “harga” yang menyeimbangkan tabungan dan investasi, sehingga mendorong pertumbuhan. Namun, bukti empiris dan analisis ekonomi Islam menunjukkan gambaran yang lebih kompleks dan penuh paradoks. Hal ini dapat dilihat dampak suku bunga antara lain: Pertama, Ketidakstabilan sistemik (Boom and Bust Cycles). Sistem bunga menciptakan siklus ekonomi yang tidak stabil. Suku bunga rendah memicu ekspansi kredit massal (boom) yang seringkali dialirkan ke sektor spekulatif (misalnya, properti dan saham), bukan ke sektor riil. Ketika gelembung aset ini pecah, terjadi krisis (bust) yang merugikan seluruh masyarakat. Krisis Finansial Global 2008 adalah bukti nyata, dimana suku bunga rendah yang berkepanjangan memicu praktik pinjaman subprime yang berbahaya.

Data menurut laporan IMF (2009), krisis 2008 menyebabkan kontraksi ekonomi global sebesar 0.1% pada 2009, pertama sejak Perang Dunia II. Biaya penyelamatan perbankan (bailout) di AS saja mencapai $700 miliar, uang yang pada akhirnya ditanggung publik.

Kedua, Mematikan sektor riil dan UMKM.  Suku bunga yang tinggi, yang seringkali diterapkan untuk mengendalikan inflasi, menjadi hambatan terbesar bagi dunia usaha, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Akses mereka terhadap pembiayaan terhambat karena dianggap berisiko tinggi. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi tidak inklusif dan hanya dinikmati oleh korporasi besar yang memiliki akses mudah ke pasar modal. Data  Bank Indonesia melaporkan bahwa pada triwulan IV-2023, suku bunga kredit UMKM masih berada di kisaran 9-12%, jauh lebih tinggi dibandingkan suku bunga kredit korporasi. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan UMKM yang merupakan penyerap 97% tenaga kerja Indonesia.

Ketiga, Perspektif ekonomi Islam.  Pertumbuhan berbasis kemitraan ekonomi Islam menawarkan alternatif melalui skema bagi hasil (Mudharabah dan Musyarakah). Dalam skema ini, bank dan nasabah memiliki hubungan sebagai mitra, bukan hubungan kreditur-debitur. Imbalan didasarkan pada keuntungan riil yang dihasilkan dari proyek, bukan pada bunga tetap.

Keunggulannya dapat dilihat berupa:

  • Berbagi Risiko: Kerugian ditanggung bersama sesuai porsi modal. Ini melindungi pelaku usaha di saat ekonomi sulit.
  • Link to Real Economy: Pembiayaan hanya mengalir ke bisnis yang riil dan produktif, karena keuntungan bank bergantung pada keberhasilan proyek tersebut.
  • Stabilitas: Tidak ada beban bunga tetap yang memberatkan saat bisnis sedang lesu, sehingga mengurangi potensi gagal bayar massal.

Keempat, Dampak suku bunga terhadap distribusi kekayaan.  Memperlebar jurang ketimpangan. Ini adalah dampak paling destruktif dari sistem bunga menurut perspektif Islam, karena secara langsung bertentangan dengan maqashid syariah (tujuan syariah) untuk mencapai keadilan (al-‘adl). Kelima, Konsentrasi kekayaan di sektor finansial.  Sistem bunga memungkinkan kekayaan terkonsentrasi di tangan pemilik modal (kapital) tanpa perlu turun langsung berproduksi. Uang “melahirkan” uang. Sementara itu, para pekerja, petani, dan pengusaha di sektor riil menanggung semua risiko operasional. Data  laporan Oxfam (2023) menyebutkan bahwa 1% orang terkaya di dunia telah meraup hampir dua pertiga dari kekayaan baru senilai $ 42 triliun yang diciptakan sejak 2020. Sistem finansial global yang berbasis bunga menjadi salah satu mesin pendorong utama ketimpangan ini.

Keenam, Eksploitasi terhadap pihak yang terdesak. Orang miskin yang tidak memiliki akses ke sumber daya, seringkali terpaksa meminjam dengan bunga tinggi (rentenir, pinjaman online) untuk memenuhi kebutuhan dasar. Bunga yang berlipat membuat mereka terjerat dalam lingkaran utang (debt trap) tanpa jalan keluar. Ini adalah bentuk eksploitasi yang nyata, yang secara tegas dikecam dalam Islam. Pada   perspektif ekonomi Islam.  Distribusi yang berkeadilan melalui zakat dan bagi hasil. Ekonomi Islam membangun ekosistem yang secara inheren mendorong distribusi kekayaan yaitu;

  • Larangan Riba: Langsung memutus mata rantai pemindahan kekayaan dari sektor riil (yang produktif) ke sektor finansial (yang spekulatif).
  • Kewajiban Zakat: Sebagai instrumen redistribusi kekayaan yang wajib. Zakat memaksa kekayaan mengalir dari yang kaya kepada yang miskin. Dalil: Al-Qur’an Surah At-Taubah (9): 60: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin… sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah.”
  • Konsep Bagi Hasil: Dalam skema Mudharabah, pemilik modal (shahibul maal) yang mungkin seorang kapitalis, harus berbagi keuntungan dengan pengusaha/pengelola (mudharib) yang mungkin berasal dari kalangan menengah-bawah. Ini menciptakan mobilitas ekonomi vertikal.

Keunggulan sistem ekonomi Islam tanpa bunga bukan hanya wacana teoritis. Beberapa bukti empiris dan tren terkini menunjukkan daya tahannya seperti:

  • Ketahanan di Masa Krisis: Selama krisis finansial 2008, industri keuangan syariah global menunjukkan ketahanan yang lebih baik. Lembaga keuangan syariah tidak terpapar instrumen derivatif beracun dan praktik subprime mortgage karena diharamkan.
  • Pertumbuhan Eksponensial: Aset keuangan syariah global diperkirakan akan mencapai $4.94 triliun pada 2025 (Laporan ICD-Refinitiv 2022). Pertumbuhan ini didorong oleh kesadaran akan keadilan dan stabilitas sistemnya.
  • FinTech Syariah: Kemunculan FinTech syariah dan platform crowdfunding berbasis bagi hasil (Equity Crowdfunding Syariah) membuka akses pembiayaan yang lebih luas dan adil bagi UMKM, memutus ketergantungan pada pinjaman berbunga.

Berdasarkan kajian dalil, data, dan teori ekonomi, dapat disimpulkan bahwa sistem suku bunga (riba) memiliki dampak yang paradoks dan destruktif yaitu sistem bunga menciptakan pertumbuhan yang rapuh, spekulatif, dan rentan terhadap krisis. Ia memicu gelembung aset dan seringkali mengalihkan sumber daya dari sektor riil yang produktif. Begitupula sistem bunga adalah mesin ketidakadilan yang sistematis. Ia memindahkan kekayaan dari mayoritas masyarakat (sektor riil, kaum lemah) kepada segelintir pemilik modal di sektor finansial, sehingga memperlebar jurang ketimpangan. Ekonomi Islam hadir bukan sekadar sebagai alternatif, tetapi sebagai solusi fundamental. Melalui larangan riba dan penawaran instrumen seperti bagi hasil (mudharabah/musyarakah) serta kewajiban zakat, Ekonomi Islam membangun paradigma ekonomi yang berkeadilan, stabil, dan berkelanjutan. Ia memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya tentang angka-angka makro yang tinggi, tetapi juga tentang bagaimana kekayaan itu diciptakan dan didistribusikan secara merata, membumi, dan penuh berkah, sesuai dengan prinsip “Maslahah” (kemanfaatan universal) dalam Islam.

Pada akhirnya, transisi menuju sistem ekonomi yang bebas riba adalah sebuah keniscayaan bukan hanya bagi umat Islam, tetapi bagi seluruh umat manusia, jika ingin membangun peradaban ekonomi yang manusiawi, stabil, dan berkeadilan. Wallahu a’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *