Ekonomi Syariah

Membangun Peradaban Kehidupan  Berbasis Hutan Dalam Perspektif Syariah Islam

  • Oleh: Idris Parakkasi
  • Konsultan Ekonomi dan Keuangan Islam

Ekbis Syariah. Dunia saat ini menghadapi krisis ekologi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Deforestasi, perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan degradasi lahan mengancam kelangsungan hidup umat manusia. Menurut data FAO (2020), dunia kehilangan 10 juta hektar hutan per tahun pada periode 2015-2020. Sementara itu, laporan IPCC (2022) dengan tegas menyatakan bahwa perlindungan dan restorasi ekosistem, khususnya hutan, adalah kunci mitigasi perubahan iklim. Dalam menghadapi krisis ini, peradaban modern yang antroposentris (berpusat pada manusia) terbukti gagal memberikan solusi berkelanjutan. Di sinilah Islam, dengan pandangan alamnya yang teosentris-integratif, menawarkan paradigma mendalam untuk membangun peradaban yang harmonis dengan alam. Konsep membangun peradaban berbasis hutan bukan sekadar strategi konservasi, melainkan visi holistik yang berakar  pada khalifah (perwakilan manusia di bumi), Mizan (keseimbangan kosmik), dan Amanah (amanat dari Allah). Fondasi teologis dan filosofis bahwa  manusia sebagai Khalifah fil Ardh memiliki tanggungjawab yang holistik terhadap keberlanjutan kehidupan bumi

Allah SWT berfirman:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً


“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.'” (QS. Al-Baqarah: 30)

Konsep khalifah adalah landasan utama, bahwa manusia bukan pemilik, melainkan wakil Allah yang diberi mandat mengelola bumi (istikhlaf). Kekhalifahan ini bersifat kondisional. Keberlangsungannya tergantung pada pelaksanaan amanah dengan adil dan bijaksana. Perusakan hutan, yang merupakan paru-paru bumi dan pusat keanekaragaman hayati, merupakan pengkhianatan terhadap amanah kekhalifahan ini. Ibn Khaldun dalam muqaddimah-nya menegaskan bahwa peradaban (‘umran) yang sejati hanya bisa bertahan jika selaras dengan lingkungan alamnya.

Alam sebagai ayatullah dan nikmat dari Allah Swt, bahwa hutan dan seluruh isinya adalah Ayatullah (tanda-tanda kebesaran Allah) yang mengajak manusia pada refleksi dan pengakuan terhadap Pencipta.

وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَثَّ فِيهِمَا مِن دَابَّةٍ


“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata yang  Dia sebarkan pada keduanya.” (QS. Asy-Syura: 29)

Alam juga adalah nikmat yang wajib disyukuri. Syukur tidak hanya di lisan, tetapi dalam tindakan memelihara (‘imarah). Rasulullah SAW bersabda:

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ


“Iman itu memiliki tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Cabang yang paling tinggi adalah ucapan La ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu adalah salah satu cabang iman.” (HR. Muslim)

“Menyingkirkan gangguan dari jalan” (imāṭatul adzā ‘anit ṭarīq) dalam tafsir ekologis kontemporer mencakup semua tindakan merusak lingkungan, termasuk deforestasi. Islam memiliki  konsep mizan (keseimbangan universal), dimana  Allah menciptakan segala sesuatu dalam ukuran dan keseimbangan yang presisi.

وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْزُونٍ
“Dan Kami menumbuhkan di bumi segala sesuatu dengan kadar (yang tepat).” (QS. Al-Hijr: 19)


وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ . أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ


“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan. Agar kamu tidak melampaui batas dalam keseimbangan itu.” (QS. Ar-Rahman: 7-8)

Hutan adalah manifestasi mizan yang sempurna dimana  siklus air, karbon, oksigen, dan kehidupan. Peradaban berbasis hutan berarti berkomitmen untuk menjaga, bukan mengganggu, keseimbangan ilahi ini. Ketidakseimbangan (kharq al-mizan) akibat eksploitasi berlebihan akan mendatangkan kerusakan  (fasad) di darat dan laut (QS. Ar-Rum: 41).

Ada beberapa  prinsip-prinsip dalam fikih lingkungan (Fiqh Al-Bi’ah) yang relevan antara lain

  • La dharar wa la dhirar (Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain)

    Hadis Nabi SAW:

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ


“Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh pula membahayakan (orang lain).” (HR. Ibnu Majah)

Prinsip ini melarang segala bentuk aktivitas yang merusak hutan jika menimbulkan mudarat bagi masyarakat, seperti banjir, longsor, kekeringan, atau hilangnya sumber mata pencaharian hayati. Kerusakan hutan lintas batas (seperti kabut asap dari kebakaran hutan) adalah dhirar yang diharamkan.

  • Hima (kawasan lindung) dan harim

Hima adalah praktik pra-Islam yang diadopsi dan disempurnakan Rasulullah SAW, yaitu menetapkan kawasan tertentu sebagai zona terlindung dimana aktivitas eksploitasi (seperti penggembalaan, penebangan) dilarang untuk kepentingan publik dan konservasi. Nabi menjadikan area sekitar Madinah (Hima An-Naqi) sebagai kawasan lindung. Ini adalah cikal bakal konsep cagar alam dan taman nasional modern.

Harim adalah zona penyangga di sekitar sumber daya (mata air, sungai, hutan) dimana aktivitas tertentu dibatasi untuk melindungi inti sumber daya. Hutan memiliki harim-nya sendiri, yang berfungsi sebagai zona penyangga ekologis.

  •  Ihya al-mawat (menghidupkan tanah mati)

    Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ


   “Barangsiapa menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Ahmad dan   

     Abu Dawud)

Dalam konteks kini, ihya al-mawat tidak sekadar membuka lahan baru, tetapi lebih kepada merevitalisasi dan mereforestasi lahan kritis, terdegradasi, dan terlantar. Menanam hutan (ghars) adalah bentuk ihya yang utama.

  • Nadzar (pelestarian untuk kepentingan publik) dan wakaf

Hutan dapat dijadikan Nadzar (obyek yang diwakafkan untuk kepentingan umum). Wakaf hutan adalah instrumen syariah yang sangat potensial untuk konservasi permanen. Hutan wakaf tidak boleh dijual, diwariskan, atau dialihfungsikan, dan manfaatnya harus untuk masyarakat (maslahah ‘ammah)..

Hutan dalam sejarah peradaban Islam telah mencatat integrasi yang erat antara peradaban dan hutan/pohon:

  • Kebijakan Khalifah Umar bin Khattab, melarang penebangan pohon secara serampangan, bahkan di tengah peperangan. Instruksinya kepada komandan perang: “Jangan tebang pohon berbuah, jangan hancurkan tempat pemukiman, jangan bunuh anak-anak dan orang tua.”
  • Sistem IQTA’ di Mamluk dan Utsmaniyah, yaitu pemberian hak pengelolaan lahan (iqta’) sering disertai kewajiban untuk melestarikan dan meningkatkan produktivitas lahan, termasuk penghijauan.
  • Arsitektur dan perkotaan: Kota-kota Islam klasik seperti Cordoba, Baghdad, dan Istanbul dirancang dengan taman-taman (bustan, jannah) dan sistem irigasi (qanat) yang menghubungkan kota dengan ekosistem sekitarnya. Hima di sekitar kota menjaga pasokan air dan udara bersih.
  • Ilmuwan Muslim: Al-Biruni, Ibn Sina, dan Ad-Dinawari menulis secara detail tentang botani, kehutanan, dan klasifikasi tumbuhan, menunjukkan kedalaman pengamatan terhadap ekosistem hutan.

Apa penyebab deforestasi perspektif syariah?

  • Kedzaliman struktural (zulm), yaitu  kebijakan yang meminggirkan masyarakat adat (masyarakat adat seringkali ahlul hima sejati) dan mengabaikan maslahah ‘ammah.
  • Keserakahan (hubbud dunya) dan berlebihan (israf, yaitu  konsumsi berlebih (istihlak) dan produksi berlebih (intaj) yang melampaui batas kebutuhan (hajat) dan masuk wilayah taraf (kemewahan yang sia-sia).
  • Korupsi (risywah),  memicu penerbitan izin yang melanggar prinsip la dharar.
  • Ignoransi (jahl) terhadap nilai ekologis dan teologis hutan.

Bagaimana kerangka membangun peradaban berbasis hutan perspektif  syariah? Peradaban berbasis hutan dilakukan beberapa level yaitu:

  1. Level individu dan komunitas (usrah dan jami’ah)
  2. Revitalisasi konsep “ghars” (menanam), sebagaimana  hadis Nabi Saw: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا… إِلَّا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةٌ  “Tidaklah seorang muslim menanam sebuah pohon atau menanam tanaman… melainkan itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari). menjadikan menanam pohon sebagai ibadah harian.
  3.   ekonomi rumah tangga berbasis hutan non-kayu, yaitu pengembangan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti madu, rotan, tanaman obat, buah-buahan yang dikelola dengan prinsip halalan thayyiban dan berkelanjutan.
  4. Wakaf individu/kolektif untuk hutan dengan mendorong wakaf pohon dan wakaf 

     hutan sebagai bagian dari filantropi Islam.

2. Level Kelembagaan dan Negara (daulah)

  • Integrasi maqashid syariah dalam kebijakan kehutanan, yaitu  melindungi hutan berarti melindungi Agama (sumber kehidupan), Jiwa (udara bersih, air), Akal (ketahanan iklim mencegah bencana yang mengganggu aktivitas intelektual), Keturunan (jaminan sumber pangan untuk generasi depan), dan Harta (sumber ekonomi berkelanjutan).
  • Penerapan sistem hima dan harim modern, yaitu menetapkan kawasan hutan lindung, konservasi, dan zona penyangga dengan aturan syariah yang ketat. Mengakui dan memperkuat hima adat masyarakat lokal.
  • Zakat dan dana publik untuk restorasi dengan  mengalokasikan sebagian dana zakat (mustahiq untuk fi sabilillah yang mencakup pelestarian lingkungan) dan dana publik (baitul mal) untuk restorasi ekosistem (ihya al-mawat).
  • Ekonomi sirkular hijau (iqtishad islami, dengan mengembangkan industri halal berbasis hutan yang zero-waste, menggunakan prinsip dlarurah (kebutuhan)  bukan hawa nafsu, dan menerapkan etika bisnis Islam yang melarang ikhtikar (monopoli) dan ghubn (penipuan) dalam pengelolaan sumber daya hutan.
  • Green fatwa dan regulasi, yaitu Lembaga keagamaan (MUI, Majelis Tarjih, Wahdah,  dll) menerbitkan fatwa khusus tentang keharaman perusakan hutan, kewajiban reboisasi, dan standar halal-haram untuk produk berbasis hutan.

3. Level global (alam islami dan kemanusiaan)

  • Diplomasi iklim berbasis syariah, dimana  negara-negara Muslim, sebagai pemilik hutan tropis signifikan (Indonesia, Malaysia, Brasil, negara Afrika Tengah), harus memimpin diplomasi dengan narasi amanah dan keadilan iklim. Konsep “Hutan Ekologis” negara maju dapat dikaitkan dengan konsep ghasab (perampasan hak).
  • Jaringan hima global, dengan  membentuk jaringan kawasan lindung dunia Islam, bertukar pengetahuan, dan mendanainya melalui instrumen keuangan Islam seperti Sukuk Hijau (green sukuk).

Membangun peradaban berbasis hutan dalam perspektif syariah adalah sebuah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) zaman ini. Ini adalah panggilan untuk kembali pada fitrah sebagai khalifah yang bertugas memakmurkan bumi (‘imaratul ardh) dengan cara yang tidak merusaknya. Peradaban yang hakiki (al-‘umran al-haqiqi) bukanlah yang ditandai dengan gedung pencakar langit dan konsumsi materialistik tertinggi, tetapi yang mampu menjaga mizan ilahi, menghormati ayat-ayat-Nya yang terbentang di hutan, dan mewariskan bumi yang tetap hijau dan hidup untuk generasi mendatang. Sebagaimana pesan Nabi dalam sebuah hadis yang diriwayatkan At-Tirmidzi: “Jika hari kiamat terjadi dan di tangan salah seorang dari kamu ada bibit kurma, maka jika dia mampu untuk tidak bangkit hingga menanamnya, maka lakukanlah.”

Menanam, merawat, dan membangun peradaban bersama hutan adalah jihad peradaban abad ke-21. Ini adalah jalan untuk meraih keberkahan (barakah) dari langit dan bumi, serta mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur – negeri yang baik dan aman di bawah limpahan rahmat, berkah dan ampunan Allah swt. Wallahu a’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *