Pola Konsumsi Berlebihan dalam Perspektif Ekonomi Syariah
- Oleh: Idris Parakkasi
- Konsultan Ekonomi dan Keuangan Syariah
Ekbis Syariah. Konsumsi merupakan aktivitas yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap hari, manusia mengonsumsi berbagai barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mulai dari makanan, pakaian, hingga kebutuhan sekunder dan tersier. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, pola konsumsi masyarakat mengalami pergeseran yang signifikan. Konsumsi tidak lagi sekadar bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi sering kali berubah menjadi gaya hidup yang cenderung berlebihan dan boros (mubadzir). Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju, tetapi juga semakin marak di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Konsumsi berlebihan dan mubadzir telah menjadi masalah global yang menimbulkan dampak serius, baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Di satu sisi, pola konsumsi seperti ini dapat memicu ketimpangan ekonomi dan pemborosan sumber daya. Di sisi lain, budaya konsumerisme yang mengedepankan kepuasan materi telah mengikis nilai-nilai sosial dan spiritual dalam masyarakat. Selain itu, konsumsi berlebihan juga berkontribusi pada kerusakan lingkungan, seperti penipisan sumber daya alam, pencemaran, dan perubahan iklim.
Dalam perspektif ekonomi syariah, konsumsi berlebihan dan mubadzir tidak hanya dipandang sebagai masalah ekonomi semata, tetapi juga sebagai perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Islam mengajarkan umatnya untuk hidup secara seimbang, tidak berlebihan, dan bertanggung jawab dalam menggunakan harta. Prinsip-prinsip ekonomi syariah, seperti keseimbangan (tawazun), keberkahan (barakah), dan tanggung jawab sosial (masuliyah), menawarkan solusi yang komprehensif untuk mengatasi masalah konsumsi berlebihan dan mubadzir.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-A’raf ayat 31:
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.”
Ayat ini mengindikasikan bahwa segala bentuk pemborosan, termasuk membuang-buang makanan, adalah perbuatan yang tidak disukai oleh Allah SWT.
Rasulullah SAW juga memberikan teladan dalam hal menghargai makanan. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka janganlah ia membersihkan tangannya sebelum menjilatinya, karena ia tidak tahu di bagian mana dari makanannya terdapat keberkahan.” (HR. Muslim).
Hadis ini mengajarkan umat Islam untuk menghargai setiap bagian dari makanan yang dikonsumsi, karena keberkahan bisa saja terdapat pada bagian yang sering diabaikan.
Selain itu, Rasulullah SAW juga melarang umatnya untuk membuang makanan yang masih layak dikonsumsi. Dalam hadis lain, beliau bersabda:
“Sesungguhnya setan hadir di antara kalian dalam segala hal, bahkan ketika kalian makan. Jika ada sesuap makanan jatuh dari tangan kalian, maka ambillah, bersihkan, dan makanlah. Jangan biarkan setan mengambilnya.” (HR. Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa makanan yang jatuh sekalipun tidak boleh dibuang begitu saja, melainkan harus dibersihkan dan dimanfaatkan kembali. Membuang-buang makanan berarti menyia-nyiakan sumber daya ekonomi yang telah dikeluarkan untuk memproduksi, mengolah, dan mendistribusikan makanan tersebut. Menurut data dari FAO (Food and Agriculture Organization), sekitar 1,3 miliar ton makanan terbuang setiap tahunnya di seluruh dunia. Nilai ekonomi dari makanan yang terbuang ini diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Di Indonesia sendiri, data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa sampah makanan menyumbang sekitar 40-50% dari total sampah yang dihasilkan setiap hari. Sementara jutaan orang di dunia masih mengalami kelaparan dan kekurangan gizi, membuang-buang makanan adalah tindakan yang tidak adil secara sosial. Islam mengajarkan umatnya untuk peduli terhadap sesama, terutama mereka yang membutuhkan. Membuang makanan yang masih layak dikonsumsi berarti mengabaikan hak orang lain yang mungkin sangat membutuhkannya.
Membuang-buang makanan juga berdampak negatif terhadap lingkungan. Sisa makanan yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) akan menghasilkan gas metana, yang merupakan salah satu gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Selain itu, produksi makanan yang tidak dikonsumsi secara optimal juga menguras sumber daya alam, seperti air, tanah, dan energi.
Bagaimana solusi dalam mengatasi pola komsumsi yang berlebih-lebihan dalam perspektif ekonomi syariah? Pertama, pendidikan dan kesadaran. Masyarakat perlu diedukasi tentang pentingnya menghargai makanan dan menghindari pemborosan. Pendidikan ini dapat dimulai dari tingkat keluarga, sekolah, hingga masyarakat luas. Nilai-nilai Islam yang menekankan kehematan dan tanggung jawab sosial harus ditanamkan sejak dini. Kedua,mengurangi sisa makanan . Salah satu cara untuk menghindari membuang-buang makanan adalah dengan mengurangi sisa makanan. Hal ini dapat dilakukan dengan merencanakan menu makanan secara bijak, memasak sesuai kebutuhan, dan menyimpan makanan dengan baik agar tidak cepat basi. Ketiga, memanfaatkan kembali sisa makanan. Sisa makanan yang masih layak dikonsumsi dapat dimanfaatkan kembali dengan cara yang kreatif. Misalnya, sisa nasi dapat diolah menjadi nasi goreng, atau sisa sayuran dapat dijadikan bahan untuk membuat sup. Selain itu, sisa makanan yang tidak dapat dikonsumsi manusia dapat diberikan kepada hewan ternak atau diolah menjadi kompos. Keempat, Berbagi dengan sesama. Islam mengajarkan umatnya untuk berbagi dengan sesama, terutama mereka yang membutuhkan. Makanan yang berlebih dapat dibagikan kepada tetangga, kerabat, atau lembaga sosial yang menyalurkannya kepada orang-orang yang membutuhkan. Hal ini sejalan dengan prinsip zakat, infak, dan sedekah (ZIS) dalam ekonomi syariah. Kelima, regulasi dan kebijakan pemerintah. Pemerintah dapat memainkan peran penting dalam mengurangi pemborosan makanan melalui regulasi dan kebijakan yang mendukung. Misalnya, dengan menggalakkan program “zero food waste” di restoran, hotel, dan industri makanan, atau dengan memberikan insentif kepada perusahaan yang mengelola sisa makanan secara bertanggung jawab.
Membuang-buang makanan adalah salah satu bentuk konsumsi berlebihan dan mubadzir yang sangat dilarang dalam Islam. Perilaku ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, tanggung jawab sosial, dan kepedulian terhadap lingkungan. Dalam perspektif ekonomi syariah, menghargai makanan adalah bagian dari ibadah yang mencerminkan rasa syukur kepada Allah SWT.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi syariah, seperti keseimbangan, keberkahan, dan tanggung jawab sosial, masyarakat dapat mengubah pola konsumsinya menjadi lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan. Selain itu, solusi-solusi konkret seperti pendidikan, pengurangan sisa makanan, pemanfaatan kembali sisa makanan, dan berbagi dengan sesama dapat menjadi langkah strategis untuk mengatasi masalah pemborosan makanan. Dengan demikian, ekonomi syariah tidak hanya menawarkan solusi untuk masalah konsumsi, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya masyarakat yang adil, sejahtera, dan harmonis. Wallahu a’lam